Sejak dahulu, peradaban telah mengenal seni yang terlukis pada
dinding-dinding gua dan bebatuan lembah. Beberapa artistik paling awal
dan paling misterius salah satunya termasuk Petroglyphs Canyon dan
struktur megalitik Stonehenge. Lukisan gua prasejarah ini mungkin telah
terinspirasi melalui perilaku gelombang suara gema yang selama ini disalahartikan sebagai Supranatural.
Sejarah manusia penuh tanda tanya, seperti ilusi visual yang menjelaskan
bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi. Suara gema yang tidak
terlihat memiliki sifat yang kompleks, sebuah fenomena yang menyebabkan
ilusi pendengaran supranatural. Dalam pertemuan 168th Meeting of the Acoustical Society of America (ASA) yang
diadakan pada tanggal 27-31 Oktober 2014 di Indianapolis Marriott
Downtown Hotel, ilmuwan Steven J Waller dari Rock Art Acoustik
menjelaskan beberapa virtualisasi suara dan peredam yang muncul
diartikan sebagai supranatural.
Analisis Suara Gema Dari Dalam Gua
Sepanjang sejarah, mitos kuno menjelaskan suara gema yang keluar dari mulut gua sebagai balasan dari roh yang hidup didalamnya.
Sehingga nenek moyang manusia mungkin membuat lukisan gua guna
menanggapi gema, dengan demikian mereka berkeyakinan bahwa gema berasal
dari suara roh yang menghuni tempat berbatu seperti gua ataupun lembah.
Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan refleksi cahaya yang terbias
secara ilusi dalam cermin, gelombang suara memantul dari permukaan
secara matematis yang identik dengan gelombang suara. Suara gema ini
berasal dari sumber virtualisasi suara dibelakangnya, seperti fenomena
bias suara yang terjadi di tebing besar dapat mengakibatkan ilusi
pendengaran seseorang menjawab dari dalam batu.
Dalam kasus lain, gema tepuk tangan bisa saja terdengar mirip dengan ketukan kuku. Sementara beberapa suara gema dari dalam gua bisa keluar bersamaan seperti suara gemuruh kawanan hewan berkuku yang sedang menyerbu.
Menurut Waller, beberapa budaya kuno menganggap guntur di langit sebagai dewa guntur berkuku, sehingga masuk akal bahwa gema dalam gua ditafsirkan sebagai guntur dan terinspirasi melalui lukisan dewa guntur berkuku, seperti yang terlukis pada dinding gua.
Waller tidak hanya menjelaskan, tetapi juga memberikan teori yang
didukung pengukuran akustik. Pengukuran ini menunjukkan hubungan
signifikan secara statistik antara seni batu dan lokasi situs dengan
refleksi suara terkuat. Karakteristik akustik lain mungkin telah
disalahartikan dalam budaya kuno, pada saat itu mereka belum menyadari
teori gelombang suara. Waller juga menemukan kemiripan antara pola
interferensi dan monumen Stonehenge,
jadi dia menguji sebuah pola interferensi dilapangan terbuka dengan
hanya meniup dua seruling untuk mengeksplorasi gelombang suara yang
dipantulkan.
Dan justru, daerah tenang ataupun hening merusak peredaman gelombang suara gema dimana
tekanan tinggi dari satu nada seruling membatalkan tekanan rendah
seruling lain. Analisis ini memberi gambaran ilusi batu cincin raksasa
atau bayangan akustik pilar. Monumen Stonehenge memang memancarkan
bayangan akustik yang menciptakan pola sama seperti interferensi. Pola
interferensi musik diposisikan sebagai cetak biru lingkaran batu
megalitik atau Stones Pipers. Lingkaran batu ini telah diceritakan dalam
legenda kuno, dimana dua penyihir Piper memikat gadis-gadis yang menari
dalam lingkaran dan menyihir mereka menjadi batu.
Fenomena akustik secara kultural terjadi secara signifikan pada manusia
purba, situasi yang mengarah pada kesimpulan langsung bahwa suara gema
yang keluar dari situs arkeologi harus dipelihara dalam keadaan alami
untuk studi lebih lanjut dan penghargaan yang lebih besar. Saat ini
sensorik dapat digunakan untuk memanipulasi persepsi dan menyebabkan
ilusi, tidak konsisten dengan kenyataan ilmiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar