Selasa, 17 Maret 2015

Benarkah Suara Gema Dalam Gua Jawaban Dari Roh?

Sejak dahulu, peradaban telah mengenal seni yang terlukis pada dinding-dinding gua dan bebatuan lembah. Beberapa artistik paling awal dan paling misterius salah satunya termasuk Petroglyphs Canyon dan struktur megalitik Stonehenge. Lukisan gua prasejarah ini mungkin telah terinspirasi melalui perilaku gelombang suara gema yang selama ini disalahartikan sebagai Supranatural.
Sejarah manusia penuh tanda tanya, seperti ilusi visual yang menjelaskan bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi. Suara gema yang tidak terlihat memiliki sifat yang kompleks, sebuah fenomena yang menyebabkan ilusi pendengaran supranatural. Dalam pertemuan 168th Meeting of the Acoustical Society of America (ASA) yang diadakan pada tanggal 27-31 Oktober 2014 di Indianapolis Marriott Downtown Hotel, ilmuwan Steven J Waller dari Rock Art Acoustik menjelaskan beberapa virtualisasi suara dan peredam yang muncul diartikan sebagai supranatural. 

Analisis Suara Gema Dari Dalam Gua

Sepanjang sejarah, mitos kuno menjelaskan suara gema yang keluar dari mulut gua sebagai balasan dari roh yang hidup didalamnya. Sehingga nenek moyang manusia mungkin membuat lukisan gua guna menanggapi gema, dengan demikian mereka berkeyakinan bahwa gema berasal dari suara roh yang menghuni tempat berbatu seperti gua ataupun lembah.
Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan refleksi cahaya yang terbias secara ilusi dalam cermin, gelombang suara memantul dari permukaan secara matematis yang identik dengan gelombang suara. Suara gema ini berasal dari sumber virtualisasi suara dibelakangnya, seperti fenomena bias suara yang terjadi di tebing besar dapat mengakibatkan ilusi pendengaran seseorang menjawab dari dalam batu.
lukisan hewan, Bhimbetka India, suara gema dari gua
Dalam kasus lain, gema tepuk tangan bisa saja terdengar mirip dengan ketukan kuku. Sementara beberapa suara gema dari dalam gua bisa keluar bersamaan seperti suara gemuruh kawanan hewan berkuku yang sedang menyerbu. 
Menurut Waller, beberapa budaya kuno menganggap guntur di langit sebagai dewa guntur berkuku, sehingga masuk akal bahwa gema dalam gua ditafsirkan sebagai guntur dan terinspirasi melalui lukisan dewa guntur berkuku, seperti yang terlukis pada dinding gua. 
Waller tidak hanya menjelaskan, tetapi juga memberikan teori yang didukung pengukuran akustik. Pengukuran ini menunjukkan hubungan signifikan secara statistik antara seni batu dan lokasi situs dengan refleksi suara terkuat. Karakteristik akustik lain mungkin telah disalahartikan dalam budaya kuno, pada saat itu mereka belum menyadari teori gelombang suara. Waller juga menemukan kemiripan antara pola interferensi dan monumen Stonehenge, jadi dia menguji sebuah pola interferensi dilapangan terbuka dengan hanya meniup dua seruling untuk mengeksplorasi gelombang suara yang dipantulkan.
Dan justru, daerah tenang ataupun hening merusak peredaman gelombang suara gema dimana tekanan tinggi dari satu nada seruling membatalkan tekanan rendah seruling lain. Analisis ini memberi gambaran ilusi batu cincin raksasa atau bayangan akustik pilar. Monumen Stonehenge memang memancarkan bayangan akustik yang menciptakan pola sama seperti interferensi. Pola interferensi musik diposisikan sebagai cetak biru lingkaran batu megalitik atau Stones Pipers. Lingkaran batu ini telah diceritakan dalam legenda kuno, dimana dua penyihir Piper memikat gadis-gadis yang menari dalam lingkaran dan menyihir mereka menjadi batu.
Fenomena akustik secara kultural terjadi secara signifikan pada manusia purba, situasi yang mengarah pada kesimpulan langsung bahwa suara gema yang keluar dari situs arkeologi harus dipelihara dalam keadaan alami untuk studi lebih lanjut dan penghargaan yang lebih besar. Saat ini sensorik dapat digunakan untuk memanipulasi persepsi dan menyebabkan ilusi, tidak konsisten dengan kenyataan ilmiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar